Kawin Kontrak

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang memiliki anggapan yang demikian. Dengan berbagai macam alasan yang masuk akal dan nyatanya juga bisa diterima dalam masyarakat, sehingga perkawinan pun tidak dihargai lagi kesakralannya. Salah satunya dengan kawin kontrak.

Kawin kontrak sendiri, menurut Abdus Salam Nawawi, kawin kontrak adalah kawin mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak.

Banyak alasan seseorang melakukan kawin kontrak, mulai dari untuk mendapatkan kepuasan biologis, hingga solusi masalah ekonomi yang memaksa beberapa orang untuk melakukan kawin kontrak. Secara umum faktor pemicu praktik kawin kontrak. Antara lain, pertama, pengetahuan agama yang kurang, membentuk penilaian nikah kontrak sah dan lebih baik daripada zina. Padahal syari’at ini dulu ada, hanya bagi para sahabat Nabi saw. yang pergi jauh untuk berperang; di mana tak ada transportasi atau teknologi modern yang bisa dengan segera menghubungkan mereka pada keluarga (istri).

Kedua, pendidikan, lapangan kerja yang sempit, dan ekonomi. Rendahnya akses pendidikan, minimnya lapangan kerja yang disediakan negara, dan kemiskinan perempuan membuat kawin kontrak jadi jalan pintas. Sedang bagi para EO, Dollar dan Real sangat menggiurkan sekalipun mereka sebetulnya berkecukupan.

Ketiga, budaya patriarki, yang melihat perempuan sebagai aset yang bisa dijualbelikan untuk mensejahterakan keluarga; serta mindset masyarakat yang masih melihat tinggi rendah manusia berdasarkan keturunan, warna kulit, jabatan, harta, ataupun jenis kelamin.

Sebagai contoh, di kampung Warung Kaleng Bogor pada bulan-bulan tertentu (Juli, agustus dan September) banyak wisatawan asing khususnya dari negeri Arab yang melakukan kawin kontrak dengan perempuan perempuan asal daerah tersebut. Perkawinan itu dimaksud hanya untuk “menemani” mereka selama berada di Indonesia.

Dalam kawin kontrak perempuan paling dirugikan. Real atau dollar yang didapat tidak sebanding dengan resiko yang diterima.Misalnya, hilangnya harkat kemanusiaan akibat sekedar jadi pelampiasan nafsu; Infeksi Menular Seksual (IMS) akibat berganti-ganti pasangan; Tidak adanya hak nafkah secara wajar; Bila hamil, diri dan janin atau anak terlantar hak-haknya; Jika terjadi kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, atau lainnya, tidak ada kekuatan hukum bagi perempuan untuk melapor ke yang berwajib.

Selain itu kawin kontrak akan menimbulkan lebih banyak masalah lain, masalah masalah tersebut antara lain :

1. Penyia-nyiaaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan orangtua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak menutup kemungkinan dia akan mengikuti jejak ibunya.

2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.

3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak – lebih-lebih yang saling berjauhan – sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.

4. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.

5. Keluarga dibangun bukan berdasarkan komitmen namun dengan nafsu sehingga masalah masalah akan mudah terjadi.

Dalam agama Kristen pun kawin kontrak dilarang. Dalam Matius 19 : 6 ” Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Maksudnya bahwa pernikahan itu merupakan sesuatu yang kudus, yang hanya hanya dilakukan sekali seumur hidup dan bukan untuk dipisahkan begitu saja oleh pekerjaan manusia termasuk ”kontrak” .

Selama ini negara menjadikan Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan sebagai pedoman. Menurut UU tersebut, nikah kontrak tidak sah. Namun, tidak diatur sanksi bagi yang melanggar.

Saat ini hadir Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Meski RUU ini merupakan sebuah inisiatif perubahan kebijakan, prosesnya masih tarik ulur karena mengandung sejumlah kontroversi. Salah satunya pada pasal 144 disebutkan, setiap orang yang melakukan kawin mut’ah (kawin kontrak) dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan batal perkawinannya.

Sayangnya, hanya pasangan kawin yang dijerat pidana. Padahal praktiknya sudah tersistem rapi; ada banyak pemain seperti calo, mucikari, saksi, wali, dan oknum pencatat dari KUA (Kantor Urusan Agama). Juga ada orang tua atau anggota keluarg a yang kadang turut memaksa anak perempuan kawin kontrak. Mestinya ada hukum yang adil bagi mereka. Sebab perempuan semata hanya korban sistem, dimiskinkan ekonomi dan pengetahuannya, dan dijerat budaya patriarki.

Mungkin yang paling dirugikan dalam hal kawin kontrak adalah perempuan, agar perempuan tidak terjerat kawin kontrak, dibutuhkan upaya pemberdayaan. Negara harus lebih membuka akses pendidikan dan keterampilan perempuan, terutama di daerah-daerah kantong; Serta menyediakan lapangan kerja yang luas dan tidak diskriminatif. Peran ulama perempuan yang telah terberdayakan dibidang kesetaraan, pembacaan timbal-balik dan kontekstualisasi atas tafsir teks-teks agama, juga penting untuk memberi pesan agama  rahmatan lil’alamin. Ini  agar budaya patriarki tidak makin merajalela. Lalu membantu negara mensosialisasikan hak-hak dasar perempuan; Serta turut menggali potensi-potensi untuk kemandirian ekonomi perempuan

Di negara kita , fenomena kawin kontrak tidak tertutup kemungkinan akan semakin berkembang. Dan mungkin juga suatu saat nanti akan dianggap menjadi suatu hal yang wajar terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, mari kita pertahankan nilai nilai agama dan juga nilai nilai sosial dan budaya kita sebagai bangsa Indonesia.

Dari berbagai sumber

Leave a comment